Senin, 14 Januari 2013

SEJARAH KERAJAAN MAJAPAHIT


       Kerajaan Majapahit Didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana yang merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari. 

Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit:
1.     Raden Wijaya 1273 – 1309
2.     Jayanegara 1309-1328
3.     Tribhuwanatunggaldewi 1328-1350
4.     Hayam Wuruk 1350-1389
5.     Wikramawardana 1389-1429
6.     Kertabhumi 1429-1478

Kerajaan Majapahit ini mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Kebesaran kerajaan ditunjang oleh pertanian sudah teratur, perdagangan lancar dan maju, memiliki armada angkutan laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada.

Di bawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Ia tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”.

Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.

Penyebab Kemunduran:

Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri.

PeninggalanKerajaanMajapahit:

Bangunan:CandiPanataran,Sawentar,TigaWangi,MuaraTakus
Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika.

Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit, dua pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur Moehammad Noer.

Di belakang bangunan Pendopo Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa.

Begitu memasuki bangunan Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan ” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat itu.

Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya.

Pada waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ” kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-temurun sejak leluhurnya.
Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985 juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya.

Kemudian pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo.

Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga.

Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya. 

Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995. Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk.

Masa Kejayaan Majapahit

Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.

Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung tersebut adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.

Keruntuhan Majapahit

Tersebutlah kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih “kapernah” kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu Majapahit yang kafir itu.

Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia. Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak.

Cerita ini masih dibumbui lagi, yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama”.

Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga terdapat dalam “Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging) membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya.

Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam.

Karena terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau Bali.

Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak begitu.

Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak. Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat.

“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.

Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.

Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.

Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.

Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.

Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.

Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.

Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).

Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.

P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.

L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota.

Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi. Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).

Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.

Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa.

Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.

Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi.

Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.
Ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan.
Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.

Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.

Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas.

Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada.

Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan.

Namun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada –yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri.
Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir.

Kerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Sumber Bacaan
1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

SEJARAH KERAJAAN KAHURIPAN


Menyimak sejarah bangsa di masa lampau, nampaknya merupakan satu kenikmatan tersendiri. Katuturanira Sang Maha Raja Airlangga, sebuah buku yang digagas sebagai sarana untuk mengangkat sejarah sebagai bahan pembelajaran bagi generasi di masa kini dengan memperkenalkan bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Namun demikian pembaca tidak perlu gundah karena sistem penulisan yang dibuat dengan halaman kiri berbahasa Jawa sedangkan terjemahan bahasa Indonesia di sisi kanan, akan memudahkan pembaca dalam menelaah kisah sejarah Maharaja Airlangga. 
Sebuah kisah sejarah yang dikemas dengan bahasa dongeng oleh Koes Indarto, seorang pensiunan karyawan PTPN X yang secara tidak langsung pernah berguru kepada sang mpu bahasa Jawa Kuno, Prof .Dr. Romo Zoetmoelder, SJ. Sebagai salah satu bentuk rasa terima kasih kepada sang mpu, maka disusunlah suatu kisah dongeng sejarah Raja Airlangga dalam kemasan bahasa Kawi. Bagi para penggemar bahasa warisan nenek moyang, nampaknya kehadiran buku ini bagaikan setetes air di padang pasir nan tandus yang mampu sedikit melepas dahaga.
Kisah bermula pada saat Pangeran Airlangga muda, putra sulung Ramanda Raja Dharma Udhayana Warmadewa beserta Permaisuri Mahendradatta meninggalkan Pulau Bali menuju tanah Jawa. Perjalanan tersebut dilakukan atas permintaan sang uwak Prabu Teguh Darmawangsa di Kahuripan yang ingin menjodohkan sang pengeran dengan putrinya yang bernama Dewi Galuh. Ratu Mahendradatta sebenarnya adalah putri Sang Prabu mPu Sindok dan merupakan adik kandung Prabu Tguh Dharmawangsa. Dengan demikian Pangeran Airlangga akan dinikahkan dengan saudara sepupunya sendiri, dan kelak di kemudian hari diharapkan sebagai pewaris tahta Kahuripan penerus dinasti Isyana.
Singkat cerita tibalah hari perkawinan agung. Segala persiapan pesta telah dilakukan secara besar-besaran. Tidak tanggung segala rakyat datang dari pelosok negeri berbondong-bondong, laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin, tanpa kecuali mendatangai kotaraja. Mereka ingin turut memberikan doa restu kepada mempelai berdua, dan memang kebijakan sang prabu menitahkan bahwa seluruh rakyat Kahuripan diundang ke istananya tanpa kecuali.
Namun tanpa diduga sama sekali, negeri Wurawari yang mempunyai dendam kepada Kahuripan memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan untuk menyerang dan menghancurkan Kahuripan. Dan karena kelengahan pertahanan Kahuripan akibat terhanyut oleh suasana pesta, maka dengan mudah pasukan Wurawari memporak-porandakan istana, bahkan Prabu Dharmawangsa gugur dalam pertempuran, dan sang permaisuripun turut bela pati.
Karena kecakapan pengawal pribadi Airlangga yang bernama Narottama, maka sang pengeran dan istri yang baru dinikahinya dengan beberapa kerabat berhasil meloloskan diri. Rombongan pelarian ini kemudian mengungsi ke daerah Ampel. Di sana kemudian Airlangga menitipkan istrinya kepada Ki Buyut Ampel. Pangeran Airlangga kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari pendeta guna belajar sutra sebagai bekal hidup di kelak kemudian hari. Atas petunjuk mPu Bharada, sampailah sang pangeran menenui sang bhiksu Budha di lereng gunung Penanggungan.
Alkisah suatu hari sang Airlangga diminta oleh gurunya untuk membeli beras sebagai persediaan bahan makanan perguruan kepada Ki Buyut Niti di dusun Cane. Pada kesempatan perjamuan, putri Ki Buyut menghidangkan suguhan. Dan betapa terpesona sang pengeran melihat kecantikan sang dewi. Dan seketika dia berniat mempersunting putri Ki Buyut tersebut. Dan atas restu dari bhiksu Budha gurunya, dipinanglah sang dewi dengan mas kawin yang dihutang. Karena mas kawin dihutang oleh sang pangeran, maka sesuai dengan adat di masa itu, sang pangeran harus tinggal menetap di rumah mertuanya. Dari pernikahan dengan Mahadewi ini, Pangeran Airlangga dianugerahi seorang putra yang diberi nama Mapanji Garasakan.
Sang bhiksu Budha yang telah uzur usia, pada suatu hari sakit keras. Di tengah sakitnya sang bhiksu kemudian mengundang seluruh cantriknya dan juga Ki Buyut Cane. Dalam suasana haru diwasiatkannyalah bahwasanya salah seorangcantriknya seseungguhnya adalah Pangeran Airlangga, penerus wangsa Isyana yang paling berhak atas tahta Kahuripan. Sebagai bukti kebenaran ucapannya dikeluarkanlah cincin berukir garudha mukha, simbol kebesaran raja Kahuripan. Dan dipesankanlah kepada seluruh rakyat Kahuripan untuk bersatu menegakkan Kahuripan dengan menobatkan Airlangga sebagai raja yang baru.
Maka dari dusun Cane itulah disusun kembali kekuatan kerajaan. Ki Buyut Niti diangkat sebagai penasehat politik raja, sedangkan sang Narottama diangkat sebagai perdana menteri, sementara sang istri diberi gelar Mahadewi diangkat sebagai permaisuri kedua. Hal pertama yang dilakukan sang prabu tentunya menjemput Permaisuri Dewi Galuh di Ampel. Setelah seluruh kerabat telah berkumpul kembali, maka mulailah ditata kembali kerajaan Kahuripan.
Kekuatan pertahanan kerajaan dibangun kembali dengan mengumpulkan pemuda-pemuda pilihan dari segenap pelosok negeri. Setelah pasukan dirasa kuat, sang prabu mulai melebarkan kekuasaan dengan menyerang musuh-musuh Kahuripan. Dan tak begitu lama kemudian kerajaan Wurawari sebagai musuh bebuyutan kerajaan berhasil ditakhlukan.
Setelah melebarkan sayap kekuasaan, sang prabu kemudian berniat membangun kutaraja. Maka dicarilah daerah keramat di lereng Gunung Penanggungan yang kemudian diberinya nama Wwatan Mas. Kemudian untuk meningkatkan hasil pertanian, dibangunlah Saptawringin dengan membendung sungai Brantas. Dan memang tanpa terlalu lama kesejahteraan rakyat meningkat, dan negeri Kahuripan menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, makmur sejahtera, tercukupi segala kebutuhan sandang pangannya.
Bukanlah kehidupan duniawi apabila tiada hambatan atau cobaan hidup. Dan dalam sejarah Kahuripan terceritalah seorang janda dari Waru Doyong yang bernama Nyi Calon Arang. Diakarenakan profesinya sebagai dukun santet maka jarang orang yang berani berurusan dengannya. Hal tersebut mengakibatkan anak gadisnya menjadi perawan tua, karena tidak ada pemuda yang berani meminangnya. Kenyataan ini menjadikan Nyi Calon Arang dendam kepada semua orang, sehingga dengan ilmu teluhnya, sang dukun menebarkan malapetaka berupa wabah penyakit aneh ke seluruh pelosok Kahuripan. Akhirnya baginda raja mengutus Mpu Baradha untuk mengatasi hal tersebut. Dengan mengumpankancantrik kinasihnya, dilamarlah putri Calon Arang. Melalui anaknya inilah kemudian bisa diketahui rahasia ilmu hitam sang dukun santet. Dan akhirnya malapetaka santet dan teluh yang disebarkan Calon Arang berhasil diberantas.
Al kisah, dari permaisuri pertama Dewi Galuh, Prabu Airlangga dikaruniai dua orang anak, yang pertama seorang putri bernama Sanggramawijaya dan adiknya laki-laki bernama Pangeran Samarawijaya. Sang putri semenjak remaja telah gemar membaca sutra Budha, dan memang di kemudian hari sang putri lebih memilih menjadi seorang pertapa dengan gelar Kilisuci.
Pada suatu hari di kala mandi di patirtan kaputren, sang permaisuri Dewi Galuh terpeleset hingga terjatuh dan menemui ajalnya. Sepeninggal permaisuri menjadi gundah gulana dan gelisah hati sri baginda. Setelah merenung panjang diputuskanyalah bahwa sang prabu berkeinginan untuk lengser keprabon dan lebih memilih menjadi pertapa untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi Wasa. Dengan demikian maka tahta kerajaan akan segera diserahkannya kepada putranya.
Namun kebimbangan melanda pikiran baginda, karena memiliki dua permaisuri dan keduanya mempunyai dua orang putra yang sama-sama mempunyai hak atas tahta Kahuripan. Akhirnya teringatlah baginda akan haknya atas tahta kerajaan Bali. Maka beliau kemudian mengutus Mpu Baradha untuk menanyakan haknya atas tahta Bali. Kerajaan Bali saat itu telah diperintah oleh Prabu Anak Wungsu, adik kandung Prabu Airlangga. Dan kenyataannya upaya meminta hak atas tahta Bali tidak berhasil.
Kemudian sebagai jalan tengah, atas usulan Mpu Baradha, maka dipecahlah kerajaan Kahuripan menjadi dua kerajaan. Kerajaan lama kemudian berganti nama menjadi Jenggala dan Mapanji Garasakan sebagai raja, wilayahnya meliputi Kahuripan sebelah utara sungai Brantas. Sedangkan palihan negara yang lain diserahkan kepada Pangeran Samarawijaya yang bertahta di Daha dengan wilayah kekuasaan di selatan sungai Brantas.
Demikianlah sejarah perpecahan kerajaan berawal. Dan kelak juga berlanjut kepada kerajaan Mataran Islam pada saat terjadinya perjanjian Giyanti yang memecah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Belum cukup sampai di situ, Kasunanan pecah lagi dengan lahirnya Mangkunegaran, sedangkan Kasultanan pecah dengan adanya Pakualaman.
Sumber Bacaan
1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

SEJARAH KERAJAAN KALINGGA


                                                SEJARAH KERAJAAN KALINGGA

Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.
Ratu Shima yang Tegas
Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-lingdiperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.
Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.
Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-lingmengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.
Pendeta Buddha Jnanabhadra
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-lingyang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:
Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.
Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-lingmenghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.
Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.

Sumber Bacaan
1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA (700-1300)


Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia adalah pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata 'Aji' dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan 'Saka' ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi.


Dengan demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli tentang Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaanya dinyatakan sebagai 'Nir Wuk Tanpa Jalu' (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan pendaratan pertama beliau di Jepara.

Sumber pengetahuan kita tentang Agama Buddha diambil dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia. Prasasti yang berasal dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutei dan Purnawarman di Jawa-barat.

Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah masuk agama yang datang dari India. Selanjutnya prasasti tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu. tapi dari penemuan patung-patung Buddha, dapat disimpulkan bahwa agama Buddha juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.

Informasi paling tua tentang keberadaan Agama Buddha di Jawa dan Sumatra didapat dari pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di Ye-Po-Ti, walaupun cuma sedikit. Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.

Tidak sampai tiga ratus tahun kemudian, pada akhir abad ketujuh, Biksu China I-tsing mencatat dengan lengkap agama Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ketertarikan utamanya adalah pada 'rumah agama Buddha' India utara dimana I-tsing tinggal dan belajar disana selama lebih dari sepuluh tahun. Dari catatannya dapat dikatakan bahwa agama Buddha di India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga menemukan perbedaan antara agama Buddha di China dan di India.

I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinnaya.

Bila dibandingkan catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan I-tsing, dapat diambil kesimpulan bahwa agama Buddha dipulau Jawa dan Sumatra telah dibangun dengan sangat cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti dikemukakan diatas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama terkenal yang pergi ke negri disebelah barat (Sriwijaya ?). Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada intinya hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa Biksu asli Jawa dan Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus. Salah saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa China. Bahasa yang digunakan oleh biksu Buddha adalah bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh dijadikan patokan bahwa agama Buddha yang berkembang disini adalah Mahayana. I-tsing menjelaskan dalam bukunya.

Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada sedikit yang mengadopsi Mahayana. Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa sanskrit tidak melulu berarti Mahayana.

Inilah bentuk agama Buddha yang mencapai kepulauan di laut selatan. I-tsing mengatakan di kepulauan di laut selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir secara universal di adaptasi. I-tsing tampaknya tidak mempermasalahkan perbedaan antara penganut Hinayana dan Mahayana. Dikatakannya :

Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan ajaran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya mengajarkan kebajikan dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan penyelamatan semua mahluk hidup. Kita tidak boleh mempersoalkan perbedaan ini. membuat keraguan yang malah akan membuat kebingungan.

Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam masalah filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar vinnaya dan kehidupan biarawan.

Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana.

Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra - yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha ; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.

Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu. Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.

Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang - barangkali perdana menteri - berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana.

Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.

Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin lama makin mengurang.
Sumber Bacaan

1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO (1752-1045)

                             Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M.

Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.
Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.
Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya).
Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.
Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di Jawa Timur
Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.

Sumber Bacaan

1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

SILIWANGI DALAM CATATAN UGA

PENDAHULUAN
Hampir semua pegunungan di Tatar Sunda ini menjadi tempat hunian para leluhur Pajajaran antara lain, Gunung Munara, Gunung Galuh, Gunung Kapur Ciampea, Gunung Gede, Gunung Ceremai, Gunung Slamet serta Gunung Padang. Selain itu pegunungan lainnya di luar Pulau Sunda, juga banyak mencatat riwayat tentang Siliwangi yang menjadi tokoh Pajajaran. Rupanya pegunungan menjadi suatu tempat yang mengesankan dengan alasan tertentu. 

Dilain pihak Siliwangi juga menyukai gua, atau lembah yang mendekati aliran sungai maupun laut. Oleh karena itu, Siliwangi telah mengukir sejarah diantaranya seperti ; Batutulis, Kutamaneh/Kutawesi, Pasir Angin, Cengkuk, Cangkuang, yang merupakan tempat awal penyebaran keturunannya sebelum ke seantero Jagat Nusantara.


Tentunya kondisi tempat-tempat tersebut di atas, jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dahulu kala keadaan alam masih hutan lebat, mungkin juga bagai savanna tanpa pepohonan !. Tetapi yang akan diuraikan disini tentang kehadiran manusia yang berhubungan dengan tabir adanya Siliwangi. Walaupun bersifat legenda, kiranya nama tempat maupun nama tokoh menjadi alasan kuat adanya untaian riwayat yang perlu dikenali oleh keturunannya.

Selain itu pula, masih banyak lokasi yang belum terungkap di belahan jagat raya ini yang pernah di jelajahi Siliwangi. Tetapi banyak kendala, karena nara sumber yang sulit mengungkap, juga sejarah Siliwangi tidak sembarang orang dapat menuturkan secara batiniah maupun artifak. Sehingga diakui, memakan waktu lama untuk membuktikan minimal mendekati kejelasan riwayat Siliwangi.

Walaupun demikian, sebagai penghormatan kepada leluhur yang menjadi nenek moyang, marilah coba mengungkap secercah kisah Siliwangi. Sebab bagaimanapun juga nama Siliwangi bagi rakyat tatar Sunda sangat erat kaitannya dengan nama kebesaran daerah, maupun dengan kharisma Siliwangi. Oleh karena itu, apabila hendak menuturkan kisah Siliwangi, maka harus dari sumber yang berkompeten sebab tidak mustahil akan menjadi polemik dan cerita yang usang dikalangan rakyat serta anak keturunan Siliwangi. Bahkan mungkin tidak diridoi oleh obyeknya. Dalam pengungkapanpun harus orang yang tepat dan memiliki warisan sejarah, serta mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf lingga sangkala, kawi, sanksekerta, maupun bahasa “karuhun”.


Dan jika menyimak Siliwangi, sebaiknya harus identik dengan zaman purba dan bebatuan. Sebab latar belakang pada zamannya selalu meninggalkan jejak batu tapak, gua, dan batu bertulis yang merupakan tanda warisnya. Namun menurut orang tua dulu, semua peninggalan itu di awali dari Rumpin dan Ciampea. Karena, dari sanalah awal Siliwangi digelar ke alam persada ini. 


KEBERADAAN NAMA PAJAJARAN
Nama Siliwangi banyak dihubungkan dengan nama Tarumanegara maupun dengan nama Sunda atau nama Pajajaran. Hanya disini akan disinggung nama Pajajaran saja, karena nama Pajajaran mungkin yang paling tepat dan sangat berarti. Namun, bukan nama lainnya di abaikan. Hanya saja, Taruma disebut karena dikawasannya banyak pohon tarum. Kemudian nama Sunda pun, karena alasan masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Jadi nama Taruma maupun Sunda, hanya sebutan (katelah, bahasa Sunda) karena kondisi keadaan zaman itu.

Sedangkan nama Pajajaran, lebih berkesan terhadap hasil upaya Sang Penjelajah. Menurut“orang tua” nama Pajajaran adalah nama jajaran. Sama halnya dengan adanya seorang bapak, ibu dan anak. Itulah sinonim Pajajaran. Atau dengan kata lain jajaran atau jejeran anak-cucu dan keturunannya. Sedang nama Siliwangi sudah sejak awal lahir sudah digunakan dan kemudian menjadi nama gelar, untuk setiap anak-cucu keturunan dari Pajajaran. Namun tidak semua anak-cucunya bisa dikatakan Siliwangi, tentunya hanya kepada anak-cucu tertentu yang pantas dan menjadi pemimpin (Kokolot, bahasa Sunda) di tiap wilayah tertentu.

Tahun berapa adanya kehidupan masyarakat Pajajaran ?. Salah satu patokannya, angka "1081"sebagaimana tertera pada batu makam Sangiyang Sungging Prabangsa di Cikembar Sukabumi. Menurut “orang tua” angka tersebut merupakan tahun sebelum masehi. Hal itu menunjukkan, bahwa Siliwangi pada zamannya telah mengukir budaya tulis diantaranya yang ada di Batutulis, di Cicatih maupun di Kawali serta di beberapa daerah sehingga bisa menjadi  ilustrasi bagi generasi berikutnya.

Dan konon nenek moyang tersebut, mulai menulis dengan mempergunakan jemari ujung kuku. Kuku yang kita kenal merupakan tanda ”doraka” dan dari sisa jasad kulit manusia ketika diciptakan itu, ternyata ampuh dan tajam terhadap batu sekalipun. Malah menurut informasi orang tua, tentang angka dan bahasa pun banyak dipelajari dari alam.



Huruf Sangkala Nirwana yang masih ada dari salah satu cuplikan buku "orang tua" di Cipaku Bogor 

Tulisan pada batu itu dikenal dengan istilah aksara ”Lingga Sangkala” dalam situasi zaman sengsara atau zaman prihatin itu istilahkan ”Mikrob Kolbu”. Nah ! dari situasi ”Mikrob Kolbu” itulah, orang tua dulu mempelajari dan meniru huruf yang ada di dedaunan maupun buah-buahan. Bahkan sampai sekarang dari daun dan buah itu tetap masih ada, walau hanya berupa garis ikal dan berliku diantaranya dari daun melati air dan buah duku. Tetapi memang jika diamati dengan seksama, terdapat  kemiripan dengan tulisan yang dibuat orang tua dulu. Sedangkan tentang fungsi lain dari kuku, akan dibahas selanjutnya.

KONDISI ALAM
Pada zaman itu, kebudayaan manusia masih serba purba dan primitif. Alat maupun perkakas untuk menunjang kehidupannya sangat sederhana sekali. Adapun yang mereka ciptakan mula-mula, kampak, pisau maupun tombak. Semuanya dipergunakan sebagai alat berburu, tetapi juga dipergunakan sebagai senjata. Kenapa harus senjata dulu yang dibuat dan dimiliki ?. Senjata menjadi penting, karena untuk melindungi dari ancaman binatang buas, maupun sebagai alat berburu untuk kebutuhan makan.

Jika demikian beralasan, karena keadaan alam pada zaman itu masih didominasi hutan belantara, sehingga binatang buas bebas hidup berkeliaran. Maka wajar setiap manusia mempersenjatai diri untuk melindungi dirinya.

Pada zaman itupun, belum ada logam besi. Walaupun sebenarnya bahan besi ada di tanah pegunungan maupun laut, tetapi manusia belum memiliki teknologi untuk memprosesnya menjadi lempengan besi. Jadi, manusia dahulu kala hanya mengandalkan alat seadanya. Mereka membuat senjata dari batu, kayu maupun dari tulang belulang binatang yang dibuat runcing sehingga menyerupai tombak, kampak atau pisau.

Meskipun keadaan alam yang ganas, kodrat sebagai manusia memerlukan makan dan minum. Maka untuk memperoleh kebutuhannya, manusia harus ikhtiar dengan cara apapun. Lagi-lagi dengan belajar terhadap kondisi alam yang ada saat itu. Mereka belajar dari alam. Antara lain, memperhatikan bagaimana harimau dapat menaklukan mangsa dengan kuku dan gigi yang tajam. Sehingga sekalipun mangsanya lebih besar, tetapi harimau dapat menaklukan dan bahkan dapat merobek daging mangsanya untuk disantap.

Dari salah satu kasus itulah, rupanya menjadi pelajaran bagi manusia tempo dulu. Dengan kuku itu pula manusia meniru, sehingga kuku mereka dipelihara dan dibuat setajam mungkin. Dengan kuku pula disamping dipergunakan menulis pada batu, kuku yang tajam itu, mereka pergunakan seolah-olah kekuatan untuk berburu. Mereka dapat memperoleh hasil perburuan untuk kelangsungan hidupnya. Mereka amat menikmati daging mentah, bahkan sekaligus bisa menghirup air darah serta memanfaatkan kulit binatang untuk penutup badan.

Apabila yang mereka peroleh buruan kijang atau domba, maka menjadi keburuntungan berlipat ganda yaitu dapat daging dan kulitnya. Sebab kulit hewan tersebut, mereka gunakan untuk menutupi anggota badan agar terhindar dari udara dingin maupun kondisi panas.

Sejak itulah mereka mulai dapat membedakan keadaan badan yang ditutupi kulit binatang dengan kondisi badan tanpa ditutupi. Sehingga dari pengalaman itulah mereka mulai mencari alternatif selain kulit binatang, yaitu pelepah pohon pinang (Upih, bahasa Sunda). Ternyata upih menjadi keperluan dan pilihan mereka untuk menutupi auratnya. Dengan upih itulah mereka nampak tidak telanjang sama sekali, malah terlihat seperti berbusana ala kadarnya.

Budaya menutupi aurat sejak itu mulai berkembang, walaupun sangat sederhana. Coba bayangkan bagaimana sosok orang tua dulu ! dengan badan tinggi besar, kuku panjang dan tajam, serta rambut panjang gimbal tak terurus, lantas tanpa penutup badan pula. Nampaknya terlihat menyeramkan, bukan ?!.

SIAPA SILIWANGI?
Siliwangi ketika lahir diberi nama panggilan nama kesayangan ”PANCAWALA”, ayahnya bernama ”Sangiyang Dewa MURBA” atau ”Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi”. Beliau memiliki ageman ilmu ”CANGKOK WIJAYA KUSUMA”. Jadi nama Siliwangi sudah ada dari nama orang tuanya yaitu : Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi, jadi nama Siliwangi bukan nama baru atau telahan. Sehingga kepada keturunannyapun, kemudian digunakan sebab nama itu sama dengan bin atau alias.

Mengenai sosok Siliwangi, ada pendapat mengatakan menyerupai harimau. Hal itu tidak tepat, jika Siliwangi yang dilambangkan ibarat harimau. Sebab harimau malah menjadi hewan”mainan” dan kesayangannya. Dan harimau itu sendiri dapat dikepit sebelah tangannya. Jadi dapat dibayangkan sebesar apa orang tua dulu kala ?, karena antara Siliwangi dengan harimau seperti sekarang layaknya orang dewasa mengangkat seekor kucing ?. Jadi sebenarnya jika Siliwangi dikatakan harimau hanyalah mitologi. Mungkin juga mengandung arti bahwa, harimau adalah raja hutan yang ditakuti dan disegani oleh binatang hutan lainnya. Dan Siliwangi memang suka menggunakan kulit harimau tetapi harimau yang ditemukan telah mati, bukan harimau hasil buruan.

Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa kehidupan Siliwangi ibarat angin, bagai kilat dan penuh petualangan. Walau demikian, tidak mustahil Allah SWT menciptakan Siliwangi tanpa perencanaan, pasti dibalik itu ada kehendak Allah menciptakan umatNya.

Pada zaman itu, makanan umumnya bersumber dari bahan mentah mungkin termasuk daging menyebabkan keringat berbau tak sedap. Namun bagi Siliwangi (Pancawala) tidaklah demikian, beliau tetap harum dan wangi. Karena selalu menikmati daging maupun lauk pauk, terlebih dahulu dibakar atau dijemur matahari. Sedangkan yang menjadi sumber api dari batu megalit maupun sumber panas lahar gunung. Oleh karena itulah, ketika Siliwangi berada di Rumpin selalu memanfaatkan panas belerang gunung kapur Ciseeng. Ketika menetap di Halimun, mempergunakan sumber aliran Cipanas Cisolok. Sewaktu di Gunung Padang senantiasa menggunakan sumber belarang yang ada di lembah Gunung Patuha. Selain itu pula banyak tempat menjadi kesukaannya antara lain ; di Ciater, kawah Tangkuban Perahu, Gunung Pancar maupun kawah Kamojang, merupakan petilasannya juga.

Banyak tempat dan sumber panas gunung lainnya dijadikan tempat mengolah daging dan ikan untuk hidangan makanannya. Oleh karena itu, beliau tidak menyantap daging maupun ikan mentah yang menyebabkan badan bau tak sedap. Dari perbedaan itulah, tubuh Pancawala tetap harum dan wangi.

Panggilan atau sebutan penggunaan nama Siliwangi, adalah atas restu dan perintah leluhurnya. Hal itu menjadi kebiasaan kepada anak keturunannya, jika diberikan gelar. Seperti ketika Aji Saka yang diberi gelar Siliwangi diawali di daerah Tomo – Kadipaten. Tempat itu bernama Marongge berada di kawasan Gunung Congkrang atau Gunung Parang Sumedang. Disana terdapat aliran sungai Cihaliwung dengan Cilutung merupakan tempat bersejarah untuk penentuan menggunakan nama Siliwangi, bahkan Cilutung diberi nama ”Air Ludah Braja”, dan disekitar Marongge ditandai dengan batu yang diberi nama ”Mus Sang Geni”. Tetapi, Haji Kyai Santang sendiri selaku putra keturunan Siliwangi tidak menggunakan nama Siliwangi. Jadi tidak semua menggunakan nama Siliwangi.

SENJATA
Pada uraian diatas telah disinggung bahwa Siliwangi memiliki ageman ilmu “CANGKOK WIJAYA KUSUMA”. Senjatanya berupa senjata alam yang tidak berwujud sehingga tidak nampak oleh kasat mata. Namun banyak orang meyakini bahwa Kujang adalah senjata milik Siliwangi, mungkin seperti Kujang tetapi bukan dari bahan logam karena zaman itu belum ada namanya besi atau logam lainnya. Memang bahan besi sejak dahulu kala banyak terdapat di tanah pegunungan maupun laut, namun proses pengolahan menjadi besi belum ada teknologi. Senjata Kujang Siliwangi itu, sejatinya berupa nur cahaya, sehingga tidak terlihat oleh kasat mata. Rupanya semacam mustika alam dari besi kuning, dan ada keyakinan bersemayam di pulau Baas, pulau sekitar daerah Cilacap.

Senjata lainnya milik Siliwangi yaitu ”Gendeng Kalapitu”. Pusaka itu sewaktu-waktu menjelma berwujud layaknya manusia serta seringkali menampakkan diri di Gunung Padang.

PERJALANAN SILIWANGI
Di atas telah disinggung, bahwa Siliwangi ibarat angin, bagai kilat dan penuh petualangan. Beliau senantiasa menjelajah dari satu tempat ke daerah lainnya dan selalu meninggalkan jejak batu bertulis, atau batu berbentuk lingga, atau berbentuk yoni, dan juga gua. Peninggalan-peninggalan itu selalu berdekatan dengan laut, sungai dan pegunungan, karena dari alam itulah selalu diharapkan dapat mendukung ekosistemnya.

Karena selain daging hasil buruan, ikan juga kesukaannya. Alasan itulah kehidupan mereka senantiasa dekat dan selalu menyatu dengan alam. Selain itu pula, gua dan gunung menjadi tempat pilihannya, karena gua ideal untuk dijadikan tempat tinggal dengan alasan aman dari gangguan binatang buas maupun sebagai tempat berlindung dari kondisi hujan dan panas.

Perjalanan awal Siliwangi bukan hanya terdesak oleh kebutuhan hidup saja, tetapi juga mengemban misi tertentu yang dirahasiakan oleh pencipta-Nya. Namun marilah coba diurai perjalanan Siliwangi dari satu tempat ke tempat lainnya :

a. Gunung Munara – Rumpin
Gunung Munara-Rumpin, merupakan tempat pertama yang mereka huni. Disanalah awal kehidupan masyarakat yang menurunkan keturunan kelak bernama Siliwangi. Walau pegunungan itu tidak terlalu tinggi, namun rupanya tanah tersebut menjanjikan kehidupan bagi mereka. Entah berapa lama menetap di Gunung Munara, namun Munara masih nampak angkuh dan meninggalkan bebatuan besar. Gunung tersebut, sampai kini setia dijaga dan dipelihara oleh Eyang Nata Boga.

Nama Gunung Munara, merupakan telahan masyarakat sunda karena bentuk batu yang menjulang tinggi nampak bagai menara (Munara, bahasa sunda) mesjid. Sehingga sekilas nampak dari kejauhan seperti menara mesjid. Tidak jauh nampak pula Gunung Nyungcung, dahulu dikenal dengan nama Gunung Galuh yang banyak melahirkan keturunan kelak.

Ketika keluarga Siliwangi menghuni Gunung Munara, seorang perempuan melahirkan bayi yang bernama Sri Dewi Ciptarasa, dan kelak menjadi istri Sisik Agung Telaga Bodas Siliwangi Rama Agung Dalem atau Purwa Kalih atau Sangiyang Windu Agung. Perkawinan tersebut melahirkan Sri Nuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawaman Siliwangi.

Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawarman mempunyai garwa yaitu : Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat “nu linggih” di Lemah Duhur Pajajaran Bogor / Saripohaci Bogor. Dari Saripohaci atau Dalem Sunan Ambu mempunyai putra Pusparaja Siliwangi Taruma Suta Pakuwon Pajajaran.

Masih Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat atau Sapujagat jika tengah “calik” di Gunung Halimun, mempunyai putri kembaran yaitu Sangiyang Singa Perbangsa atau Atok Larang dan Bolekak Larang. Atok Larang mempunyai putri Ratu Dayang Sumbi. Ratu Dayang Sumbi atau Sri Dewi Kahyangan mempunyai putra ;

1. Joko Lalangon atau Sangkuriang atau Jaka Lelana
2. Joko Bandung Bandojaya atau Jaka Bandawasa atau Aji Saka atau Raja Boko.

Agar rangkaian keturunan ini lebih jelas, maka perlu diuraikan pula ketika di Gunung Halimun walaupun terkesan penulisan ini melompat-lompat. Tetapi dianggap perlu disinggung terlebih dahulu sewaktu Sapujagat di Gunung Halimun.

Nirwana Sangiyang Domas Siliwangi Wardananingsih mengkisahkan tentang keturunan Siliwangi dan Pajajaran yang memiliki putra yaitu :

1. Lingga Manik
2. Lingga Sana
3. Lingga Lingba
4. Lingga Manik Wulung
5. Sangiyang Bandung
6. Sangiyang Putih Purba Wayang
7. Sangiyang Singa Perbangsa
8. Lingga Dewa Agung Pucuk Manik Maya adalah Sangiyang Siliwangi Wardananingsih
9. Murtapa Di Gunung Cakra Domas atau Mandalawangi Situ Sangiyang Tunggal adalah Pajajaran.

Sangiyang Putih Purba Wayang mempunyai putra Sangiyang Domas Siliwangi atau Hayam Wuruk. Hayam Wuruk mempunyai putra Sangiyang Weda yang menjadi Raja Galuh pertama. Sangiyang Weda mempunyai putra yang menjadi raja di Palimanan. Dari istri lain Hayam Wuruk atau Sangiyang Domas Siliwangi, mempunyai Patih Gajah Mada atau Patih Joyo Merkolo.

b. Gunung Kapur Ciampea
Selanjutnya, saat keluarga kecil itu berada di Gunung Kapur Ciampea mereka membuat peninggalan berupa arca. Arca yang dibuat itu dikenal, patung 5, 4, 3, 2 dan 1. Seiring kebudayaan dan keterampilan orang dulu yang belum maju, maka patung yang dibuatpun tidak sebagus dan sehalus tangan-tangan yang terampil. Patung atau arca yang terdapat di Ciampea masih terkesan asal-asalan dan tidak sebagus yang ada di daerah-daerah lainnya. Konon bentuk patung yang dibuat merupakan wujud peringatan atau pesan bahwa ditempat tersebut pernah ditempati atau dihuni kelompok masyarakat Pajajaran.

Patung adalah lambang atau pertanda untuk menunjukan bahwa disana telah hidup dan ada kehidupan sejak zaman purbakala, atau semacam monumen tentang adanya manusia terdahulu. Adapun yang dapat diketahui dari patung-patung batu atau arca tersebut antara lain memiliki nama sebagai identitasnya, yaitu :

1. Sangiyang Cupu Manik
2. Sangiyang Dewa Braja
3. Sangiyang Mustika Dewa Domas
4. Sangiyang Agung Dewa Suci

Tidak mustahil menamai patung atau arca tersebut yang sebenarnya merupakan anak keturunan dari Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maha Raja Mulawarman Siliwangi.

Namun sayang, ternyata di daerah yang dianggap cikal bakal pengungkapan sejarah tersebut, kini batu berupa patung atau arca sudah tidak nampak lagi. Konon pada tahun 1974, patung-patung tersebut telah berpindah tempat. Bahkan sekarang sebanyak 3 arca telah berada dalam kotak peti dalam kondisi pecahan batu kapur di Pasir Angin Leuwiliang. Padahal dengan berpindahnya tempat bertengger patung (arca) berarti jejak sejarah telah berubah. Bahkan mungkin untuk generasi mendatang akan lebih sulit melacaknya. Kapan, bagaimana dan dimana titik tolak awal sejarah jati diri Pajajaran maupun nenek moyangnya.

Dari Gunung kapur itulah, mulai adanya perkembangan budaya masyarakat dan jumlah anggota keluarganya bertambah. Selanjutnya gunung itupun ditinggalkan. Namun sebelum beranjak migrasi ke tempat lain, mereka sempat mengabadikan pula dengan suatu monumen. Mereka membuat Padatala yaitu batu jejak kaki gajah dan kaki ayam. Hal ini mengingatkan kita tentang kaki gajah sebagai symbol Gajah Mada dan kaki ayam adalah Hayam Wuruk ?. Namun sayang, khususnya batu jejak kaki ayam tersebut telah lenyap di lokasinya yang kebetulan berada di tepi sungai. Padahal batu itu dapat menjadi rujukan suatu bukti adanya nama Gajah Mada maupun Hayam Wuruk dari Pajajaran yang kelak menguasai Pulau Sunda disebelah timur.

c. Lemah Duhur Batutulis
Sewaktu Pancawala atau Siliwangi berada di Batutulis, Sri Dewi Ciptarasa meninggal dunia. Pada masa itu, kebudayaan yang berkembang masih menganut cara Agama Hindu. Oleh karena itu setiap yang meninggal melalui proses perabuan. Mayat Sangiyang Sri Dewi Ciptarasa pun dibakar. Abu mayatnya dikuburkan disebelah Prasasti Batutulis bersama 8 makam lainnya.

Disebelah makam itu, terdapat pula makam perabuan kerabatnya yang bernama Sangiyang Loro Agung. Sedang tempat pembakaran mayat, tepatnya pada rumah yang pernah menjadi tempat tinggal penduduk yang bernama Haji Aming (Jalan Batutulis). Di sebelah utara Batutulis terdapat batu panjang merupakan tempat kesukaan Sangiyang Lodaya Sakti bersemedi. Disitulah Sangiyang Lodaya Sakti digembleng sebelum melakukan petualangan ke Sancang Pameungpeuk Garut Selatan.

Disebelah selatan Batu Bertulis, terdapat patung/arca Sisik Agung Telaga Bodas Siliwangi Rama Agung Dalem atau Purwa Kalih atau Sangiyang Windu Agung. Di seberangnya, terdapat petilasan kramat Embah Dalem yang memiliki nama Eyang Embah Buyut Haji Wali Sakti Mangkurat Jagat nu linggih di Pajajaran Bogor, Lemah Duhur Saripohaci Bogor.

Leluhur tersebut, mempunyai pembantu Kidang Pananjung (Embah Dalem Kedung Badak). Kidang Pananjung sendiri mempunyai anak cucu keturunan, dan banyak menyebar di sekitar Kedung Badak, Kebon Pedes dan ke arah Sukaraja.

Sedangkan nama Cipaku sebelumnya bernama Blubur yang meliputi daerah Cipaku sampai batas wilayah Ciawi dan Cijeruk. Sedangkan Kebun Raja atau sekarang terkenal bernama Kebun Raya, dahulu merupakan kawasan “Sangiang Domas Cipatahunan”. Lubuk ( Leuwi Sipatahunan ) itu membentang mulai dari Leuwi Campaka Sukasari sampai jembatan Situ Duit sekarang.




Batu Bertulis Lingga Sangkakala dan Padatala

Di Batutulis inipun Siliwangi membangun tata kehidupan, sedang keluarga di Ciampea tetap melanjutkan hidup bermasyarakat. Di Lemah Duhur – Batutulis, atau Pancawala, atau ”Srinuhun Dar Niskala Watu Sri Baduga Maharaja Mulawarman Siliwangi”. Beliau terus meningkatkan nalarnya. Ilmu pangaweruhnya dituangkan dalam tulisan pada batu, sehingga terwujud Batu Bertulis huruf Lingga. Hal itu dilakukan, seolah amanat untuk dikenang jejak Siliwangi dan keluarganya, serta yang terpenting menjadi peringatan bahwa beliau telah mendiami daerah itu.

Berpindah-pindah Siliwangi lakukan seperti mudah sekali, karena beliau dalam “perjalanannya” selalu mengandalkan ”mukjizat Saefi Angin”. Konon menurut “orang tua dulu”, tiap daerah yang telah Siliwangi singgahi selalu meninggalkan batu ”pengapungan”. Sebab batu tersebut, sebagai landasan refleksi ilmu saefinya. Di Bogor pun ada, hanya saat penulis menelusuri batu tersebut telah lenyap dari tempatnya. Batu lain yang masih tersisa bekas pertapaan Siliwangi, yaitu Batu Putih yang terletak di Sungai Cisadane dan di Curug Bengkung sekitar Rancamaya. Serta diyakini, Siliwangi ”murca” di Sukawayana sebelum ”ngabubat” ke daerah Tulang Bawang, Padang, Nias dan Banjarmasin – Kalimantan.

Sedangkan bebatuan lainnya yang masih tersisa, terdapat di Cibedug Raden Pasir Angin.  Tempat tersebut diibaratkan dengan sebutan "Robuka Rodiat Robiah Kamamullah". Disana masih nampak bebatuan besar dan masih kokoh berserakan, serta mempunyai sebutan antara lain: batu Kedok, batu Gedongan, batu Lalay, batu Kasur, batu Karut dan lain-lain. Bebatuannya diistilahkan "Nurjati Pengawasa Gusti". Khususnya batu Kedok ditandai dengan nama : ”Dewa Prabu Agung Sri Baduga Maharaja”. Malah di sekitar Makam Mbah Guru Mega Mendung, batu lingga setinggi 150 cm telah hilang oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Sangat disayangkan.

Dalam perjalanannya, Siliwangi selalu berpindah tempat dengan dalih untuk memperbanyak anak keturunan, serta dari satu tempat ke tempat lainnya selalu menggunakan nama tokoh yang berbeda. Kenapa demikian ? mungkin jika satu nama saja akan menjadi kultus individu, dan akan selalu dicari keturunannya. Oleh karena itu, ia senantiasa setelah menganggap cukup memberi sesuatu terhadap keturunan, beliau terus menghilang (ngahiyang/murca), pindah tempat atau kadang seperti layaknya orang meninggal dunia. Namun sebelum hijrah dari Bogor, Nyi Sri Dewi Pohaci (Dalem Sunan Ambu) menurunkan pula seorang putra yaitu Sangiyang Pusparaja Siliwangi Taruma Suta Pakuwon Pajajaran.

Itulah jejak Siliwangi di Lemah Duhur - Batutulis, dan Batutulis sendiri memiliki sebutan gelar ”Saiful haq bil goib” yang berarti ”Pedang kebenaran dari yang tidak nampak”, sebagai kiasan yang maksudnya : Ilmu dari leluhur Batutulis setajam pedang. Namun keturunannya hanya dapat mengenang ”Cihaliwung nunjang ka kidul, Cisadane nunjang ka kaler, panggih Cikalimusana”. Siapapun dan pusaka apapun yang melintas Cikalimusana akan ”laas teu metu ” (tidak akan ampuh).

d. Kutamaneuh / Kutawesi, Cikembar dan sekitarnya.
Setelah lama di Batutulis, akhirnya Siliwangi dengan jejak kakinya menelusuri antar gunung ke gunung menetap di Sukabumi. Pertama disinggahi, gua yang diberi nama Kutamaneuh dan Kutawesi yang terletak di kaki Gunung Guruh. Bahkan di Sukabumi ini banyak daerah yang suka digunakan beliau untuk kepentingan berumah-tangga seperti di Sukawayana, Cengkuk, Cikakak Gunung Halimun, Gunung Bentang, Gunung Beser, Gunung Batu/Cupu/Sunda/Kate.

Khususnya Gunung Cupu, di sebutkan dalam bahasa arab “Likuli amrin hidayati” yang berarti setiap perintah pasti ada petunjuk. Dari sinilah bersemayam Siliwangi ; Eyang Surya Kate atau Eyang Surya Kemasan dan atau Eyang Kuncung Putih. Bagi anak keturunannya, apabila hendak “bersilaturahmi khusus” malam hari pada tanggal 14 Syafar.

Menurut informasi orang tua, Eyang Surya Kate adalah petualang sejati. Pengembaraannya sampai ke wilayah Tiongkok, Jepang, Saigon – Vietnam dan Muangthai serta ke Batu Merah - Australia. Mungkin saking terkesannya dengan Saigon, beliau memberi nama “Kota Qolbu” dan bagi Batu Merah Australia “Qud Alam”. Sehingga kemungkinan, Suku Aborigin merupakan keturunannya. Sedangkan petualangan ke luar nusantara lainnya, yaitu ke Malaysia. Disana terdapat petilasan pertapaan Eyang Surya Kate, di sekitar danau kecil.

Tentang pengembaraan Eyang Surya Kate, sekitar tahun 1945-1946 ketika Jepang mengusai daerah Cikembar, serombongan bangsa Jepang mencari nama Gunung Sunda (Kate). Ternyata yang bangsa Jepang maksudkan adalah Gunung Batu/Cupu. Konon menurut bangsa yang menyembah matahari tersebut, mereka  menelusuri asal muasal tempat nenek moyangnya. Mungkin itulah salah satu bukti keteturunan dari Eyang Surya Kate.

Eyang Kuncung Putih atau Gentar Alam/Bumi pun selalu berganti nama baru sesuai dengan tempat tinggalnya yang baru pula. Eyang Kuncung Putih ketika di Sukawayana beliau disebut Begawan Sukawayana, di Gunung Halimun bernama Eyang Gentar Alam / Eyang Gentar Bumi bahkan diyakini pula dengan sebutan Syeh Wali Sakti Haji Qodratullah. Ketika di Gunung Beser dan Gunung Hejo, Siliwangi meneruskan bekas Eyang Suryakencana. Dan namanya di gunung itu Embah Kusumah karena meneruskan jejak bekas Eyang Suryakencana. Dan terakhir dii Cikembar juga terdapat nama Prabu Puspa Raja dan Prabu Sungging Prabangsa serta Ibu Ratu Sri Geuncay.

Ibu Ratu Sri Geuncay adalah saudara kembaran Ibu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul atau Sangiyang Sungsang Tunggal, yang satu di daratan dan yang lainnya penguasa lautan. Ibu Sri Maha Dewi Ratu Kidul memiliki doa ; “Qolbu Adam bil Hawa, bil Baetullah Wal Madinah”. Sejatinya Ibu Ratu itu penguasa seluruh lautan didunia dan nama lengkap Ibu Ratu yaitu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul (Sangiyang Sungsang Tunggal).

Sedangkan Sangiang Sungging Prabangsa di Cikembar juga dikenal Bolekak Larang. Sedangkan kembarannya di Ciamis bernama Atok Larang. Bahkan di Banjar juga terdapat petilasan Singa Perbangsa. Khususnya masyarakat di Cihaurbeuti Ciamis dahulu tidak boleh (pamali, Bahasa Sunda) menyebut batok seolah-olah menyebut leluhurnya tanpa awalan penghormatan.

Sedangkan di Cikembar terdapat kebiasaan aneh yang berhubungan dengan situasi negara, jika negara dalam keadaan kacau tidak menentu, maka penduduk akan menjumpai babi yang berlari-lari ke tengah hunian penduduk tetapi tak lama kemudian babi itu akan hilang dan dinamai “babi hiyang”. Selain itu pula terdapat pohon beringin rengkas (tumbang). Namun walaupun telah rebah, tetapi kemudian berdiri kembali sebagaimana berdiri semula. Dan konon disanalah tempat bersemayam Dewa Angkara salah satu pembantu setia Siliwangi. Namun entah sekarang masih ada atau tidak, karena pohon itu tumbuh di tengah markas TNI sekarang. Sebelum menjadi markas TNI, pada zaman kolonial disana menghampar perkebunan kopi dan untuk mengawasi perkebunan itu, Belanda membuat lapangan terbang.

Lain halnya dengan nama Kutamaneuh maupun Kutawesi, mengingatkan kita dengan nama Kuta Tandingan atau Kuta Kelambu di Karawang. Nama Kuta itupun merupakan tempat yang pernah disinggahi dan menjadi tempat pertapaan Siliwangi. Disamping itu juga yang menjadi lokasi kesukaan Siliwangi yaitu di Gua Rampo, Gua Siluman di Cidolog Jampang Tengah maupun di Gunung Walad.

e. Gunung Halimun Cikakak dan Cengkuk
Di Gunung Halimun ini terdapat batu bersusun undak yang merupakan tapak tilas kebudayaan zaman Siliwangi. Gunung Halimun yang memiliki ketinggian antara 500 – 2000 meter dari permukaan laut ini, terdapat batu-batu punden berundak sebagai tempat untuk menyelenggarakan musyawarah sekaligus lokasi pemujaan terhadap “Sanghiyang Widi”. Suasana Gunung Halimun yang lebat dengan pepohonan serta udara yang dingin, menjadikan nyaman bagi nenek moyang menetap disana.

Kondisi hutan yang mendukung dari segi kondisi, maupun bahan makanan yang cukup, menjadikan garwa Siliwangi, yaitu ; Dewi Sri Ratu Panutup melahirkan 49 keturunan yang menyebar ke berbagai tempat. Perempuan idaman Siliwangi tersebut, masih saudara kandung Ibu Dewi Sri Geuncay maupun Ibu Sri Ratu Maha Dewi Ratu Kidul atau Sangiyang Sungsang Tunggal.




Pangguyangan Punden Berundak

Menjadi kesan tersendiri, bahwa di Cikakak maupun Cengkuk masih terdapat artifak punden berundak dan tugu. Hanya sayang, gua yang terdapat patung/arca telah lenyap terkubur longsoran tanah subur Gunung Halimun. Padahal merupakan bukti penting untuk penelusuran sejarah. Dan tentang punden berundak pun sama  disusunnya ketika berada di Gunung Lawu.

f. Cangkuang
Di Leles Garut ini, Siliwangi mulai membuat candi pertama dan diberi nama “Nila Warna” atau“Ki Agem Balangantrang”. Sebenarnya candi disini terdapat empat buah, namun entah mengapa pada zaman Belanda kondisinya hancur dan sekarang yang tersisa cuma satu candi. Itupun upaya renovasi dari pihak pemerintah pada tahun 1976 dan sungguh membanggakan.

Adanya batu bersusun ini, menunjukan bahwa kebudayaan Siliwangi beserta keluarganya sudah agak maju. Candi, adalah bebatuan yang disusun rapih dibuat untuk tempat semedi. Dahulu nama Leles, lebih dikenal dengan nama “Kalingga”, dan disini keluarga Siliwangi makin berkembang dan bertambah banyak. Alasan lain, diantara keturunan mereka banyak yang saling mengadakan perkawinan antar saudara.

Perkawinan antara saudara tersebut tidak bersifat monogamy, tetapi malah polygamy serta ditentukan karena kekuatan seseorang. Tapi mungkin juga polyandry. Sebab siapa yang dianggap “jagoan” maka dia berhak mengawini pasangan mana saja dan berapa saja yang disukai. Mungkin begitulah masa lalu karena belum adanya aturan tentang hukum perkawinan. Walaupun ketika itu ajaran atau kepercayaan mereka telah mengarah ke aturan agama Hindu, tetapi keperkasaanlah yang berkuasa menentukan pilihan sesuai seleranya.




Candi Nila Warna / Ki Agem Balangantrang Cangkuang

Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tertib menghasilkan makin bertambahnya anggota masyarakat. Tak terkecuali dari Kalingga pun merambah ke wilayah Galuh. Bagi mereka, Galuh atau Karang Kamulyan maupun Kawali, bukan batasan luar daerah. Karena, zaman itu belum adanya batas wilayah atau struktur daerah. Adanya batasan wilayah setelah adanya Belanda, hal itu Belanda lakukan batas wilayah untuk memudahkan penataan administrasi. Ketiadaan batas wilayah sehingga berlaku hukum alam  siapa yang berkuasa, dialah segala-galanya. Begitulah dahulu kala dengan sebutan zaman kegelapan.

Selain candi, di Kalingga inipun terdapat petilasan makam para tokoh, namun urutan nama ”kekasih” disini seolah hidup setelah kedatangan agama Islam, diantaranya seperti :

1. Mama Kanjeng Sunan Pangadegan
2. Mama Kanjeng Sunan Sembah Arif Muhammad
3. Mama Eyang Prabu Santosa. Sedangkan nama lain beliau yaitu Singa Perbangsa tetapi ketika di Kalingga  (Garut) beliau menggunakan nama Mama Eyang Prabu Sentosa.

Sebenarnya jika dikaji lebih mendalam, budaya batu-batu yang disusun membentuk candi, dibuat sebelum adanya agama Islam sehingga menjadi tanda tanya besar kenapa nama-nama diatas terkesan nama Islam, seperti sebutan Mama Kanjeng Sunan. Mungkin begitulah Siliwangi yang terus menerus mengganti nama menyesuaikan dengan peradaban zaman.

g. Galuh/Karang Kamulyan maupun Kawali
Di Galuh keluarga Siliwangi makin berkembang menempati peloksok Ciamis. Cara bermasyarakatnya lebih dinamis, sehingga bermunculan berbagai permainan atau “kamonesan” maupun kerajinan masyarakatnya. Dari hasil kerajinan keturunannya, muncul kampung yang dinamai Rajapolah. Nama tersebut karena adanya tokoh yang kreatif yaitu Prabu Dalem Sri Menggala yang merupakan salah seorang keturunan Siliwangi dari Kawali.

Di kawasan Kawali khususnya banyak meninggalkan artifak berupa Batu Bertulis, Batu Kaca, dan batu lainnya yang menandakan bahwa disini telah ada kehidupan tempo dulu. Dan di Kawali pula Siliwangi telah mengukir tulisan pada batu yang menunjukan angka 1 dan 7. Kemudian ada pula garis berkotak 4 dan 5 serta terdapat tapak jari tangan. Konon tapak tangan tersebut menunjukan disitulah “Sangiyang Tapak” berada. Mengenai angka, orang tua meyakini bahwa angka-angka tersebut ternyata memiliki makna tertentu sesuai dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Sebab hal itu dihubungkan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka bermakna tanggal 17 Agustus ‘45 dan angka 5 merupakan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Sedangkan di Gunung Sawala Ciamis, menjadi basis leluhur yang dihuni keturunan dari Ciung Wanara maupun dari putra Dewa Resi atau Ki Ajar Padang atau Eyang Kalawangsa atau Atok Larang maupun Batok Larang. Ciung Wanara atau Sangiyang Adi Sakti merupakan generasi kedua dari Siliwangi, namun beliau tidak menggunakan gelar Siliwangi.

Dilain pihak, dahulu terdapat keunikan dengan nama Batok Larang, sebab bagi keturunannya tidak boleh (pamali, Bahasa Sunda) menyebut batok, sekalipun itu batok kelapa sebenarnya. Tetapi konsonan “tok” seolah-olah menyebut leluhurnya tanpa awalan penghormatan. Dan juga sejak dulu yang menjadi larangan penduduk disini, khususnya yang perempuan tidak boleh memelihara rambut panjang. Konon jika terdapat keturunan yang berambut panjang apalagi berparas cantik, maka akan kena sumpah serapah leluhurnya. Begitulah patsun yang berkembang tempo dulu.

Itulah Galuh yang artinya asal mula. Sangiyang Atok Larang disini mempunyai anak yaitu Dayang Sumbi (Sangiang Dewi Kahyangan), Ki Balangantrang dan Diah Pitaloka. Cerita Dayang Sumbi mengingatkan kita pada zaman Sangkuriang, dan Ki Balangantrang pada babad Ciung Wanara. Sedang Diah Pitaloka sebagai cucu Siliwangi, tersirat dalam perang Bubat.

h. Majeti
Disamping Galuh, Siliwangi juga membuka lahan di suatu tempat yang berawa yaitu di Pulo Majeti. Sedangkan masyarakat disekitar memberi nama Rawa Onom (Onom artinya Dedemit, bahasa Sunda). Dinamakan pulau, karena di sekeliling pegunungannya terdapat genangan air payau. Sedangkan nama Onom, karena terkenal banyak dedemit/hantu yang pernah mereka temui. Padahal di lokasi ini terdapat tokoh-tokoh yang kelak bernama Aji Saka, Dewata Cengkar, Ratu Rengganis, Ratu Gandawati, Sri Begel, Sri Budegel, Sawung Galing, Sulaeman Kuning, Eyang Mentereng, Tubagus Tomal.




Petilasan para leluhur Pajajaran di Majeti

Nama-nama tersebut bukan nama pituin, atau nama asli melainkan nama telahan karena tempat atau nama sifat, laku lampah dan tingkah yang unik. Seperti Eyang Mentereng, beliau menyukai hal-hal yang bersifat menonjol dalam berpakaian sehingga terlihat mentereng. Kemudian Tubagus Tomal, ia malah senang berdandan diri.

Khususnya nama Aji Saka, adalah cicit Siliwangi dan beliau bergelar Siliwangi. Aji Saka yang diberi gelar Siliwangi diawali di daerah Tomo – Kadipaten. Tempat itu bernama Marongge berada di kawasan Gunung Congkrang atau Gunung Parang Sumedang. Aji Saka dalam pengembaraannya ke arah timur menjadi kepala suku / Raja yang berkuasa di daerah Boko - Kedu. Namun sayang bekas petilasan Raja Boko yang berupa candi masih berserakan bebatuannya, sehingga terkesan belum selesai di bangun. Dan konon menurut penuturan orang tua dulu, Candi Boko sebenarnya menyambung dengan Candi Prambanan, Candi Sewu maupun Candi Loro Jongrang.

i. Pajajar dan Cipaku
Perkembangan di Ciamis semakin pesat menyebar kearah Cipaku dan Pajajar Majalengka yang berbatasan dengan Cirebon. Disana mereka mendirikan perkampungan yang dijadikan tempat menetap Sang Pemimpin dari keluarga Siliwangi. Di Pajajar maupun di Cipaku ini juga semakin bertambah anak dan keturunan Siliwangi, karena perkawinan antar keluarga dari wilayah lain maupun keluarga yang ada disana. Kehidupan yang telah mulai merebak, bertambah menjadi daerah pendudukan yang ramai.

Tokoh yang terkenal di Cipaku Majalengka terdapat nama-nama seperti ; Ki Buyut Sawala, Ibu Siti Aisah, Ibu Syeh Ambu, Eyang Kencur Putih, Eyang Pangeran Kumis, Eyang Mama Kalijaya dan Ibu Ratu Bungsu. Di Cipaku Majalengka inipun, lagi-lagi terdapat nama yang terkesan sudah zaman Islam seperti ; Ibu Siti Aisah, Ibu Syeh Ambu dan Mama Kalijaya. Mengapa demikian ?.

j. Gunung Padang
Gunung Padang Ciwidey, terdapat Batu Leuit ( batunya besar) dan Batu Lingga ( Batu Totonde) banyak dijadikan tempat pertapaan Siliwangi. Sifatnya yang jujur, arif bijaksana dan senang memberikan ajaran tentang kehidupan. Anak didiknya menyebut Sangiyang Premana atau sebutan Ki Ajar Padang. Sebelum bermukim di Gunung Padang, beliau memilih hidup di Gunung Patuha. Dalam perkawinannya, melahirkan 7 orang putri. Salah satu putrinya, dinikahi Sangiyang Lingga Manik. Putri Ki Ajar Padang bersama menantunya ini, kemudian menempati kawasan ”Purwo Wiwitan” atau Purwokerto sekarang. Lingga Manik alias Batara Dewa memiliki anak yang bernama Putri Tawang Wulan.

Nama Gunung Padang diambil dari nama gunung pertapanya, sebenarnya nama gunung tersebut dahulu bernama Gunung Rangga. Di Gunung Padang Sukabumi, di Kuta Tandingan, Kuta Kelambu Karawang, Gunung Padang Ciwidey, Gunung Padang sekitar Sidareja maupun di Gunung Padang Sumatera, disitulah Ki Ajar Padang melakukan semedi atau tapabrata. Beliau merupakan tokoh yang paling dihormati, namun enggan dijadikan pemimpin atau kepala suku tetapi selalu disertai penjelmaan Gedeng Kalapitu.

k. Gunung Slamet
Ketika pengembaraan Siliwangi berada di Baturaden Gunung Slamet Purwokerto, beliau bernama Siliwarni. Saudara-saudaranya bernama Banyak Cotro, Banyak Ngampar, Banyak Blubur, Batara Dewa (Sangiyang Lingga Manik). Di Purwo Wiwitan atau Purwokerto sekarang, merekapun menata kehidupannya. Tetapi Banyak Cotro mengembara kearah timur Pulau Sunda, Banyak Ngampar ke daerah Ujung Pandang (Makasar), Batara Dewa kearah selatan atau ke Cilacap.

Sedangkan Siliwarni yang menyaru lutung selalu mengikuti gerak langkah kemanapun Putri Tawang Wulan bepergian. Putri Tawang Wulan adalah anak dari perkawinan Kepala Suku yang bernama Lingga Manik (Batara Dewa) dengan salah seorang putri dari Sangiyang Premana atau Ki Ajar Padang. Ketika itu Lingga Manik, tengah menguasai Gunung Alas Larangan atau Gunung Sangkala di sekitar kawasan Sagara Anakan. Bahkan sampai hayatnya, Lingga Manik atau Batara Dewa ngahiyang dan bersemayam di Gunung Sangkala atau “Gunung Alas Larangan”.

Di daerah ini terdapat 2 tempat yang dikeramatkan penduduk yaitu Janur Putih sebagai penjelmaan ”Naga Nyi Sri” dan yang lainnya bernama “Gajah Putih Bulu Landak” serta Angka Wijaya. Naga Sri suka menjelma seperti ular yang sisiknya mengarah berbalik ke depan, sedangkan Gajah Putih nampak berbulu bagai bulu landak.

Kembali ke tokoh Siliwarni, ketika itu menyaru seolah-olah rakyat jelata melamar Putri Tawang Wulan. Tetapi akhirnya lamaran itu diterima. Dan perkawinan tersebut sebenarnya antara paman dengan keponakan. Dari perkawinan mereka, lahir Hariang Banga salah seorang keturunannya. Sedangkan putra Siliwangi dari lain istri, bernama Ciung Wanara atau Sangiyang Adi Sakti. Anak keturunan inilah yang kelak tercatat dalam kisah perang Bubat dan keduanya merupakan keturunan Siliwangi.

l. Daerah Pengembaraan Lainnya
Urutan tempat-tempat dimaksud diatas, bukan berarti secara berurutan jalur pengembaraan Siliwangi, tetapi daerah itulah yang banyak dan sering dijadikan hunian yang paling disukainya. Selain itu pula, daerah yang tidak tersirat disini bukan berarti tidak disenangi, tetapi malah menjadi basis bagi keturunan Siliwangi bermasyarakat pada zaman selanjutnya.

Oleh karena itu, langkah dan petualangan Siliwangi tidak terikat di satu lokasi saja tetapi beliau bergerak merambah dan cepat ke setiap penjuru, bagai angin bertiup dan sesuai dengan julukan lain nama beliau, yaitu Sangiyang Kilat Buana.

Itulah beberapa tempat Pulau Sunda Bagian Barat yang telah dihuni oleh keluarga Siliwangi maupun keturunannya. Disamping itu, perjalanan beliau juga tercatat ke arah timur nusantara seperti ; ke Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Tengger, Gunung Sindoro dan sekitar Dieng dan ke Gunung Wukir Kecamatan Salam Magelang dan lain-lain. Malahan ketika di Ponorogo, melahirkan keturunan yang ke 5.

Sewaktu menghuni Sindoro, kebudayaan membuat patung maupun candi sangat digandrungi, sehingga sejak itu sekitar Gunung Dieng banyak berdiri candi untuk pemujaannya. Disamping itu, disana juga terdapat telaga warna. Sebagaimana dimaklumi bahwa Siliwangi juga menyukai Telaga Warna di Puncak Bogor, Telaga Warna di Gunung Jampang Tengah, dan Telaga Warna atau Danau Kelimutu. Masih di sekitar Dieng, terdapat Gua Sumur, Gua Semar dan Gua Dewi Kuan In. Padahal gua atau relung tanah tersebut merupakan tempat Siliwangi bertapa.



Banteng Lilin dan aksara Lingga

Sewaktu Siliwangi di wilayah Gunung Wukir, memiliki generasi keturunan yang ke 7 yaitu Syailendra. Artifak yang ada di Gunung Wukir ini ditandai dengan candi dan arca Banteng Lilin, sama seperti yang terdapat di Kebun Raya Bogor.

Petilasan lain Siliwangi di Gunung Lawu, dahulu terdapat sebuah gua yang menghadap arah matahari, itupun menjadi tempat pertapaan Siliwangi dan disanapun beliau membuat punden berundak sebagai tempat pemujaan kepada Sangiyang Widi sama halnya punden berundak ketika di Gunung Halimun. Kesamaan lainnya yaitu tempat yang paling disukai Siliwangi menikmati sumber air Jalatunda antara lain seperti yang terdapat di Kebun Raya Bogor, di Cirebon dan Tretes Malang.

Perjalanan Siliwangi tidak sekedar di Pulau Sunda bagian barat saja, tetapi merambah ke beberapa pulau lainnya seperti di Padang dengan nama Adityawarman, ke Pulau Nias meninggalkan petilasan Batu Loncat. Di Aceh menetap di daerah Tapak Tuan. Kemudian juga beliau menyeberang ke Kalimantan dengan nama Mulawarman. Masih sekitar Kalimantan juga, beliau menghuni pulau kecil dekat Banjarmasin yang sekarang bernama Kota Baru. Bahkan sebelum menghuni Kota Baru, pernah tinggal di Danau Toba dan menurunkan keturunan yang kelak bermarga Sisingamangaraja. Sisingamangaraja ketika diangkat menjadi pembantu (Pengawal) Siliwangi memiliki tanda merah dipipinya.

Ketika murca di Sukawayana, Siliwangi meneruskan pengembaraannya ke Lampung dan Palembang. Disana meninggalkan petilasan berupa patung Dewi Sri, namun penduduk disana menyebutnya Patung Lidah Pahit. Padahal arti dari lidah pahit yaitu ”Saciduh metuh saucap nyata” (ucapannya yang dikelaurkan benar dan nyata).

Sungguh tidak diduga pengembaraan Siliwangi begitu jauh, namun begitulah Siliwangi tidak berhenti sampai di Kota Baru saja. Beliau yang memiliki nama lain yaitu ”Sangiyang Tapak”, juga pernah menghuni gua Leang di Sulawesi sebelum berada di Danau Merah Irian Jaya. Mungkin agak lama mendiami daerah Gowa, karena ketika disana beliau menurunkan ilmu menulis bagi keturunannya yang berada di Bugis. Setelah Danau Toba, Danau Merah dan pernah juga tinggal di sekitar Danau Kelimutu (Ende-Flores) wilayah Pulau Sunda Kecil.

Siliwangi tidak dan bukan berkuasa dalam Pulau Sunda saja, tetapi jika menulusuri jejaknya melebihi jagat nusantara. Lalu bagaimana dengan perubahan nama Pulau Sunda ?. Entahlah Indonesia merupakan daratan yang terhampar luas. Sedangkan pada masa itu yang disebut Pulau Jawa, adalah yang sekarang Pulau Bali. Dan disanalah menetap Sangiyang Dewa, salah seorang putra pertama keturunan Siliwangi generasi yang ke 8. Sedangkan adiknya yang perempuan, yaitu Sangiyang Rinjani menetap di pegunungan yang kemudian diberi nama Gunung Rinjani. Gunung yang memiliki ketinggian antara 300 – 3700 meter dari permukaan laut ini, terletak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Sedangkan kakak perempuan yang paling tua dari Sangiyang Dewa, pergi ke Danau Kelimutu atau ”Danau Pusaka Alam”. Dinamakan pusaka alam karena danau tersebut memiliki air berwarna lambang negara. Namun sebelum Sangiyang Dewa ke Bali, beliau sempat membuat Candi Jabung di kawasan Panarukan. Malahan sampai ujung Pulau Sunda Besar itu, tepatnya di Alas Purwo Kabupaten Banyuwangi, terdapat gua dan makam panjang itulah suatu tanda peninggalan Siliwangi.

PEREBUTAN KEKUASAAN BOROBUDUR
Pulau Sunda Besar dan Sunda Kecil, pada zaman pemerintahan Belanda dibagi-bagi menjadi beberapa daerah propinsi, dengan strategi pembentukan pemerintahan agar dapat memudahkan pengendaliannya. Namun perubahan dari Pulau Sunda menjadi Pulau Jawa entah gagasan siapa dan kapan ?. Oleh karena itu, kejadian perang Bubat bukan perang antar daerah, atau perang antar suku atau antar agama Hindu dengan Budha, tetapi pertikaian antara keturunan Siliwangi dan terjadi di Pulau Sunda Besar.

Kejadian pertikaian tersebut, hanya memperebutkan pewarisan Candi Borobudur diantara keturunan Siliwangi, antara Hariang Banga dengan Ciung Wanara ?. Warna Biru dan Merah inilah yang bertikai menentukan pengusaan Borobudur. Hariang Banga yang berkuasa di daerah Timur dengan warna hijau dan Ciung Wanara berkuasa di daerah Barat dengan warna merah. Penentuan warna itu terjadi di Gunung Tengger.

Ketika itu Hariang Banga berkuasa daerah timur memiliki patih yang bernama Gajah Mada. Gajah Mada adalah patih yang setia dan salah satu pengawal yang berilmu sakti mandraguna. Gajah Mada, ketika di Pajajaran beliau adalah pengawal ke 3. Namun sewaktu terjadi pertempuran memperebutkan penguasaan Borobudur itu, ia terluka oleh senjata saudaranya dari daerah barat. Dan Gajah Mada menyadari, hanya senjata dari Pajajaran yang dapat melukainya. Dalam kondisi luka dan menghindari perang saudara lebih dasyat lagi dengan Saudaranya, ia lari dan menjauh ke arah Malang. Sampai hayatnya ia bersemayam di salah satu gua di daerah Malang. Tempat peperangan Bubat terjadi di beberapa tempat dan puncaknya terjadi di sekitar Sidoarjo.

Dalam pertempuran sengit itupun, Diah Pitaloka tertusuk pula oleh senjata saudaranya dari timur. Ia berlari kearah Kediri. Dan sampai hayatnya meninggalkan prasasti tulisan Palawa/Sangkakala di daerah Gunung Kawi.

Perebutan kekuasaan itu tentunya banyak meninggalkan korban dari kedua belah pihak, terutama para bala prajurit. Setelah kejadian ini hubungan antara kedua pihak keluarga menjadi tidak harmonis lagi, bahkan pihak dari keluarga Siliwangi dari timur mulai meninggalkan agama Hindu sebagai agama dari keturunannya. Sejak saat itulah mereka mulai menghimpun diri menjadi kekuatan kelompok masyarakat, dan pada akhirnya kelompok kekuatan itu kelak menjadi wilayah kerajaan-kerajaan diantaranya seperti ; Singosari, Majapahit.

Khususnya mengenai Gajah Mada maupun Hayam Wuruk, sebagaimana telah disinggung diatas beliau merupakan keturunan Pajajaran dan diisyaratkan dengan tanda pada batu yang menggambarkan tapak kaki gajah dan telapak kaki ayam yang terdapat di tepi sungai Ciampea telah hilang. Sayang artifak jejak kaki ayam telah lenyap sehingga sulit menjadi pembuktiannya. Gajah Mada sendiri ketika di Pajajaran menjadi Pengawal (patih) yang ke 3 dan beliau meninggalkan berupa tanda batu di Batu Gede – Bojong Gede.

SILIWANGI ZAMAN ISLAM
Siliwangi sendiri dikatakan “Slam Tunggal”, karena sejak lahir telah kulup sehingga nampak seperti telah disunat. Pada zaman Islam beliau telah melakukan sunatan terhadap keluarganya. Hanya sayang pratek khitanan yang dilakukan oleh Siliwangi dengan menggunakan kuku dan batok. Lubang yang nampak di bagian ujung batok kelapa dijadikan lubang penis, kemudian penis yang menjulur ia potong dengan kuku. Namun pertama khitanan yang dilakukan Siliwangi telah merenggut nyawa keluarganya, karena salah memotong. Salah satu korban salah potong khitanan tersebut, dimakamkan di sebelah selatan Batutulis sekarang.


Gunung Bentang - Sukabumi

Generasi Siliwangi ke 14 yaitu yang bergelar Haji Kiayi Santang, setelah gagal melakukan khitanan di Lemah Duhur – Batutulis Bogor akhirnya kembali lagi menemui gurunya di Tanah Arab. Sekembalinya dari jazirah Arab, beliau hijrah ke Gunung Mandalawangi Garut. Di Godog Suci itulah di mulai pengislaman melalui khitanan lagi. Haji Kiyai Santang atau Syeh Jafar Sidik atau dikenal pula bernama Sangiyang Sunan Rohman yang kemudian akrab dengan nama Sunan Rohmat, dan sampai akhir hayatnya bersemayam di Gunung Mandalawangi. Suatu saat suka mengunjungi Gunung Batu/Cupu/Sunda dan di Gunung Bentang Sukabumi pula, bernama Eyang Sunan Agung Cakrawala atau Kiyai Santang Ratu Sunda. Tetapi, beliau lebih banyak menempati Lemah Duhur - Batutulis Bogor dengan Eyang Embah Buyut Haji Wali Jaya Sakti Mangkurat Jagat nu linggih di Lemah Duhur Wali Tunggal Pakuwon Pajajaran. Dan selalu didampingi oleh saudaranya Sangiyang Lodaya Sakti.

Oleh karena itu, tidak mustahil banyak diantara keturunannya menjadi tokoh Islam dan menggunakan nama-nama Islam seperti nama Mama Kanjeng Sunan bagi anak laki-laki dan atau nama Siti bagi yang perempuan. Bahkan beliau sendiri disamping menggunakan nama terkesan Hindu atau Budha seperti Sangiyang, Batara atau Prabu juga menggunakan nama lain seperti Haji Sakti Qodratullah, Haji Putih. Bahkan ada nama lain beliau yang bernuansa Sunda kental yaitu Haji Agung Komara Putih.

Ketika di keturunan Siliwangi mengadakan pertemuan di Gunung Tengger – Bromo (meliputi wilayah Probolinggo, Malang, Pasuruan dan Lumajang), pembahasannya menyinggung aliran (ageman) cara beribadah. Keturunan yang masih menganut Sunda (Hindu) tetap beribadah dengan caranya, sedangkan agama baru yaitu Islam beribadah pula dengan aturannya. Namun tetap dari sekian banyak keturunan masih ada yang berselisih yaitu antara Ki Gede Palimanan dengan Prabu Atas Angin.

Ki Gede Palimanan adalah salah seorang keturunan Sancang Lodaya Sakti. Sancang Lodaya Sakti adalah salah satu keturunan Siliwangi dari istrinya yang berada di Gunung Ceremai Kuningan. Sejatinya suka menjelma bagaikan “seekor harimau”. Oleh karena itu, dahulu keturunan Ki Gede Palimanan tak pernah dan tidak mau menyebut nama Ki Gede Palimanan karena setiap mengucap nama itu maka dihadapannya akan hadir tiba-tiba seekor harimau. Penduduk dan keturunannya selalu menyebut dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.

Ki Gede Palimanan, tidak menyukai Prabu Atas Angin karena tetap tidak mau beralih keyakinan beragama. Beberapa kali Prabu Atas Angin ia bunuh, namun setiap anggota badan Prabu Atas Angin menyentuh tanah maka ia hidup kembali dan badannya utuh lagi. Begitulah seterusnya. Tetapi setelah dibunuh badan Prabu Atas Angin digantung tidak menyentuh tanah, barulah benar-benar meninggal. Sejatinya Prabu Atas Angin memiliki ilmu “Batara Bumi”.

Prabu Atas Angin memiliki garwa Ibu Ratu Bungsu dari keturunan Ki Buyut Sawala. Dari perkawinan itu lahirlah Syeh Siti Jenar. Dilain pihak, yaitu Ki Gede Palimanan mulai menyebarkan ajaran Islam di Gunung Murti Jati atau lebih dikenal dengan nama Gunung Jati karena disana banyak terdapat pohon jati – Cirebon. Syeh Siti Jenar memiliki ilmu jiwa raganya dipenuhi “pangaweruh tanpa guru”. Namun perselisihan paham tentang ajaran Islam dengan Dewan Walisanga, menjadikan Syeh Siti Jenar yang tengah berkiprah didaerah Tuban – Demak Bintoro dianggap penganut Islam sesat. Untuk menghindari perseteruannya dengan para Walisanga, akhirnya Syeh Siti Jenar lebih banyak berkhalwat di Cirebon Girang di dusun tanah kelahirannya.

Syeh Siti Jenar, sejatinya bernama Syeh Mubin dan diyakini akhirnya melepas sukmanya, di daerah Gunung Awisan Kanoman atau Plangon Cirebon. Syeh Siti Jenar atau Syeh Mubin atau nama lain yaitu Syeh Lemah Abang, ajarannya lebih menitik-beratkan terhadap tasawuf dan mengandung nilai metafisika, namun dipandang oleh Dewan Walisanga menyimpang dari ajaran Islam. Pada akhirnya keturunan Pajajaran ini murca. Ketika penulis ke Plangon, ternyata disana dinamai Syeh Syarif Abdurahim atau Pengeran Kejaksan. Namun Syeh Siti Jenar sebelum tilar dunya, mempunyai keturunan yang bernama Slingsing yang juga penyebar agama Islam di daerah Kudus.

Syeh Syarif Abdurahim atau Pangeran Kejaksan mempunyai saudara kandung yaitu Syeh Pangjunan. Dari Saudara-saudara Pangeran Kejaksan inilah menurunkan ulama yang menyebarkan agama Islam ke berbagai peloksok daerah melalui salah seorang keturunannya, yaitu Syeh Syarif Hidayatullah. Salah satu wilayah yang di Islamkan termasuk Banten. Di Banten mempunyai garwa Ibu Ratu Kawung Anten dan melahirkan Syeh Sabakinkin dan Ratu Winaon. Ayah Syeh Syarif Hidayatullah adalah Maulana Muhammad Syarif Abdullah bin Nurul Alim, seorang pejabat di jazirah Arab. Dari da’wah Syeh Syarif Hidayatullah inilah penyebaran agama Islam berkembang pesat.

Begitulah Siliwangi. Beliau yang memiliki berbagai nama menyukai hidup berpindah-pindah tempat layaknya kaum nomaden. Memang secara lahiriyah kurang masuk akal sebab begitu mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun keadaan alam pada zaman itu mendukung petualangan Siliwangi. Kepindahan Siliwangi juga bukan tanpa sebab, beliau mendiami di satu tempat disamping beristri untuk memperbanyak keturunan juga dengan menurunkan ilmu yang berbeda pula. Sehingga dapat disimpulkan membina setiap keturunan dengan sikap dan sifat yang berbeda disatu tempat dengan tempat lainnya. Namun walaupun demikian, tetap tujuan utamanya agar anak keturunannya menyembah kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran yang diwariskan Allah kepada para Rasulullah SAW.

PENUTUP
Kejayaan Siliwangi jauh sebelum adanya besi. Memang fantastis. Oleh karena itu, Siliwangi beserta kisah sejarah, maupun peninggalannya sampai kini masih ditelusuri dan penuh dengan misteri yang belum terungkap. Hanya dimanakah Siliwangi berada ? Siliwangi telah ngahiyang. Mungkin ngancik pada keturunannya, mungkin pula pada setiap atau tokoh Pajajaran yang menyebar di Nusantara. Namun yang pasti Siliwangi telah murca di suatu tempat. Selama itu pula, anak keturunan Siliwangi sampai saat ini masih menulusuri jejak nenek moyangnya. Kata orang Sunda, masih “nyucuk galur mapay galengan sugan aya cukang lantaran”, Iraha, dimana, jeung kumaha ayeuna Siliwangi? Mungkin banyak ragam yang mengartikan, biarlah menurut keyakinan, kepercayaan dan mata hatinya masing-masing. Toh karuhun selalu bersifat, bersikap dan berhati arif bijaksana “lautan hampura”. Apapun dan bagaimanapun alur yang mengkisahkan Siliwangi dengan Pajajarannya, merupakan pertanda masih memiliki sebersit “kadeudeuh / kanyaah” terhadap nenek moyangnya. Begitulah, menurut penduduk Bogor terhadap Siliwangi seperti menghibur diri. Cag !
sumber baca membaca sejarah indonesia